Jeritan Hati Seorang Istri
Ada seorang teman menuturkan kepada saya sebagai berikut, Sebenarnya aku tidak tahu dari mana memulai? Dan bagaimana memulai? Hatiku telah hancur dengan kesedihan. Tubuhku terasa lemas dengan kepedihan.Eksistensiku tergoncang , karena setiap kata yang kutulis menunjukkan kesengsaraan yang kuderita.Kesengsaraan macam apa?! Biarkanlah aku katakan sebagai intimidasi, atau menurut pemahaman yang populer adalah "teror".
Bukankah menimbulkan rasa takut pada orang yang dalam keadaan aman adalah teror?! Bukankah kedzaliman adalah teror juga?! Ya, aku alami keadaan seperti ini bersama orang yang seharusnya menjadi manusia yang paling dekat denganku. Bukankah seorang istri merupakan tempat yang damai bagiseorang suami dan suami adalah merupakan tempat yang damai bagi istri,sebagaimana hal itu keyakinan kita?
Mas, kesengsaraanku bersama suamiku bermula sejak awal, semenjak malam pengantin. Dia tanamkan pada diriku benih rasa sakit dan ketakutan. Aku ingin memupuskan semua itu dengan rasa cinta dan berusaha untuk saling memahami. Tetapi wajah bengis yang tidak pernah pudar, perlakuan kasar yang menguatkan atas sikap yang merendahkan martabat dan menghina merupakan makananku tiap hari.
Usiaku belumlah tua. Usiaku sangat belia waktu menikah. Sedangkan dia 30 tahun. Aku kira kematangan berfikir dan kedewasaan akal akan mempengaruhi tindakan- tindakannya... tetapi!!!
Aku diperlakukan seperti pembantu atau budak. Aku harus melaksanakan semua kewajiban-kewajibanku, mulai memakaikan baju dan sepatu padanya. Tidak berakhir dengan menghidangkan makanan yang ia santap sendirian.Kejantanan dan keperkasaannya menahan dirinya untuk makan bersamaku diatas satu meja makan. Sebelum hingga sesudah punya anak. Aku maupun
anak-anakku tidak ada yang berani makan sebelumnya.
Sering sekalidia pulang kepadaku pada larut malam. Aku tidak berani bertanya tentangtempat di mana dia begadang, dan bersama siapa? Juga tentang bau yangmenunjukkan bahwa itu adalah bau yang tidak baik dari minuman yangtidak baik?!
Kewajibanku hanyalah melepas sepatu dan bajunya, meletakkan makanan dan berdiri di sampingnya hingga selesai.
Aku harusbangun lebih awal untuk membangunkannya. Dan dia pun bangun setelah bertengkar dan mencelaku, bahkan terkadang –Maha Suci Engkau ya Allah-dia meludahi wajahku.
Tuan aku tidaklah berlebihan!!Ketidakmampuanku untuk berbicara keras dan perasaan takutlah yang menghalangiku untuk banyak bicara.
Aku–walillahi al hamdu- adalah perempuan yang punya penampilan menarik,bersih dan berkedudukan. Namun dia tidak mau menahan diri untukmencelaku dengan kata-kata yang melukai. Ketika aku berusah untukmembalas atau meminta untuk menceraikanku, tidak aku dapati kecualitamparan dan tendangan. Yang dijadikan sebagai pembenaran dariperlakuannya adalah kejantanan dan keperkasaan, bukan pergaulan danperlakuan yang baik.
Bayangkan diabelum pernah dan tidak pernah bercengkrama dengan anak-anaknya. Merekaadalah tiga anak perempuan yang cantik-cantik. Bahkan terkadang diamencibirku karena mereka dengan mengatakan, "Mereka tidak sebandingdengan kuku satu anak laki-laki."
Anak-anak selalu hancur perasaanya dan bersedih, walaupun aku selalu berusaha mendekap dan menghibur mereka.
Percayalahaku dan anak-anaku hidup dalam ketakutan. Seluruh tingkahnya di rumahtidak pernah nampak tenang, bahkan kasar. Jika menghendaki sesuatu,tidak memanggilku, tetapi dengan melempariku dengan sesuatu yang adadidekatnya hingga aku bangkit. Atau menutup pintu dengan kasar. Ataumemanggilku dengan tepukan tangan, seakan-akan aku ini adalah seorangpembantu. Jika teman-temannya datang ke rumah, aku harus berdiri dekatpintu untuk memenuhi permintaan-permintaanya.
Adapunhak-hakku sebagai istri, maka aku tidak berhak untuk mendapatkannya.Bahkan dia mengambil haknya lalu pergi dengan membenturkanku ke tembok.Belum pernah terjadi dalam satu hari pun wajah dan tubuhku bersih darimemar bekas pukulan , dan luka atau lainnya.
Anak-anakterkadang menjerit, tetapi dia tidak punya perhatian dan perasaan. Akuberusaha untuk merahasiakan (semua kejadian itu) pada diriku danmenahan diri, barangkali dia akan reda dan tenang... tetapi tidakbermanfaat.
Oh iya akulupa menceritakan bahwa aku adalah keluaran perguruan tinggi danberpendidikan. Jika yang dimaksud dengan berpendidikan adalah tanggapdengan apa yang ada di sekitarku dan tahu tentang hak-hak dankewajiban-kewajiban terhadap keluargaku; mulai dari suami yangmerupakan sumber dari permasalahanku.
Mungkin Anda bertanya, "Kenapa Anda tidak meminta bantuan kepada keluarga Anda atau meminta cerai?"
Aku jawab,"Hal itu sering terjadi, dan keluargaku selalu memaksaku untuk kembalikepadanya. Atau setelah beberapa saat dia datang untuk mengajak bicarakepada keluargaku bukan kepadaku. Lalu ayah menyuruhku untuk pergibersamanya. Aku tidak mampu berucap sepatah kata pun, karenamenghormatinya.
Kesimpulannya mas, aku hidup dalam keadaan yang penuh teror dan ketakutan dirumahku yang seharusnya aku merasa aman di dalamnya. Atau bersamasuamiku yang seharusnya dia bisa mewujudkan cita-cita dan keamananuntukku pribadi dan anak-anakku. Aku hidup dalam penjara yang tidakkuasa untuk keluar darinya...
Kesedihan danhal-hal yang tidak bisa kuceritakan banyak sekali dan sangat getir.Jika dirinci mungkin akan meghabiskan berlembar-lembar halaman. Tidakada yang tersisa selain pertanyaan usang yang barangkali jawabannyatidak menyegerakan atau mengakhiri dari kesedihanku yang terwujud pada suami ini. Tetapi karena harapan dan usaha untuk bisa mengungkap isihatilah yang mendorongku untuk menulis. Barangkali dia membacanya. Ataudibaca para istri yang mengalami seperti apa yang aku ceritakan,sehingga mereka tahu kesengsaraan yang aku alami. Aku mohon pada Allah agar penderitaan ini cepat berakhir..Aamiin ya robbal alamin