Dibalas kelumpuhan
Seorang pemuda berinisial (H.M.) yang baru berusia dua puluh empat tahun, sama sekali tidak membayangkan kalau pada suatu hari dia bangun tidur dalam keadaan mendapati tangan kanannya lumpuh. Akan tetapi inilah yang terjadi pada pemuda celaka tersebut, anak satu-satunya kedua orang tuanya. Dia biasa mencaci dan memaki kedua orang tuanya tanpa memperhatikan sama sekali sesuatu yang diajarkan oleh agama yang hanif ini berupa perintah untuk menaati kedua orang tua dan memuliakan keduanya. Setelah kematian ayahnya, bertambahlah kekasarannya terhadap ibunya, hanya karena sang ibu menasihatinya agar menjauhi teman-teman buruk, yang menjadi sebab pelajarannya tertinggal dan menyimpang menjadi anak nakal.
Pada suatu hari, sang ibu menakut-nakutinya dengan salah satu pamannya (dari ibu) yang dia takuti di masa lalu. Namun, justru dia memaki-maki pamannya dan menantang akan melakukan sesuatu terhadapnya. Kemarahannya tambah memuncak dan melempar ibunya dengan sepatu yang mengenai punggung ibunya.
Ibunya pun mulai menangis karena perbuatan anaknya yang durhaka. Dia mendoakan kecelakan atasnya. Seketika pada hari berikutnya, tatkala pemuda itu bangun dari tidur, dia mendapati dirinya tidak dapat menggerakkan tangan kanannya (karena lumpuh).
Pemuda itu menutup pintu kamarnya menyendiri, siang dan malam selalu menangisi apa yang pernah dia perbuat terhadap kedua orang tuanya. Ibunya pun merasa kasihan. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan, kecuali berdoa kepada Allah Ta’ala agar menyembuhkan belahan hatinya. (Aqibah Uquq al-Walidain, hal. 99-100)